Selasa, 22 Maret 2011

Filosofi Pemahaman Agama

Filosofi adalah ilmu yang menjadi penuntun untuk pelaksanaan atas pemahaman yang menjadi keyakinan tiap2 individu maupun kelompok, sehingga dalam realitanya semua budaya maupun aturan akan secara sadar maupun tidak, tetap berpedoman pada filosofi yang dianut tiap2 manusia. Sehingga optimalisasi atas karya yang akan dihasilkan akan mengarah sesuai dengan definisi atas filosofi yang menjadi acuan dan kerangka dalam benak seseorang/ kelompok secara subjective. Walaupun pada kenyataan akan dinamis, mengalami perubahan sesuai dengan budaya maupun perkembangan sosiologi setempat.



Definisi selalu menyandarkan pada hal yang dirasa oleh mereka yang kompeten dalam bidangnya masing-masing yang disesuaikan oleh kondisi dan terkadang emosional (kepentingan secara subjective). Sehingga dalam pemahamannya selalu mengalami kejanggalan dan akan terus berkembang seiring dengan perubahan secara global, dinamis sesuai dengan pergeseran nilai2 sesuai kemajuan zaman.



Keterbatasan akal sangatlah mejadi penentu atas definisi yang diciptakan dalam menginterpretasikan filosofi, karenanya tidaklah mengeherankan bila filsuf selalu beda pendapat dan cenderung dipaksakan atas pemahaman dalam mengartikan filosofi itu sendiri, yang disebabkan keterbatasan2 akal dalam mengartikan dan menuangkan dalam kata. Belum lagi dalam bahasa kerap menjadi penghambat sendiri dalam mengartikan definisi dalam lintas bahasa.



Dalam kaidah secara agama, filosofi cenderung dekat dengan akar budaya dimana (tempat) agama tersebut menjadi besar maupun tempat dilahirkan. Kecendrungan penguasa pada saat proses terjadinya agamapun kerap sangat berpengaruh besar atas atas kaidah maupun norma yang selanjutnya menjadi ketetapan. Sakralisasi akan semakin terjadi bila pemahaman atas agama sudah mulai tidak singkron dari filosofi agama itu sendiri.



Penyimpangan2 yg terjadi sebagai akibat intervensi penguasa sesuai dengan kepentingan politik maupun kebenaran menurut sudut pandang para pemikirnya, sebagai akibat perkembangan yang terjadi diwaktu belakangan hari setelah kelahiran agama akan menjadi hal biasa disebabkan semakin pluralisasi dalam masyarakat yang terbagi dalam banyak kepentingan.



Dalam banyak kitab suci agama yang ada dengan mayoritas pengikutnya didunia, banyak terjadi pemahaman yang berbeda-beda dari tiap2 generasi, yang menelorkan pemahaman dan aliran yang cenderung berkelompok dan merasa paling benar, sehingga adanya satu kata penengah yang kita sering dengar dan cenderung hal yang maksimal yang dapat diperbuat, yaitu “perbedaan itu indah”.

Padahal kebenaran sejati tidak akan bisa dicapai baik dalam hal logika maupun dalam perjalanan keimanan seseorang. Yang ada hanyalah kebenaran nisbi yang mungkin akan mengalami perubahan dalam masa mendatang, atau lebih tepatnya “hasil konsensus yang diperoleh sebagian besar masyarakat”, karena sifat manusia yang dalam banyak pemahaman merasa dirinya adalah yang paling (banyak mengandung) benar.



Penyimpangan yang berlarut-larut akan terus terjadi dikarenakan kedangkalan dalam konsep berfikir, serta melupakan filosofi dari agama yg dianutnya itu sendiri. Hal ini potensial dan telah terbukti mengakibatkan banyaknya perselisihan.



Mengatasnamakan Tuhan menjadi hal yg biasa untuk mencapai tujuan baik secara sadar maupun tidak, walaupun manusia diberikan akal untuk berfikir, tetapi peran nafsu yang menjadi dasar, dimana akal memfasilitasi dari nafsu itu untuk mencapai tujuan yg diinginkan. Bahkan tidak disatu kitab suci pun membolehkan nafsu utnuk berperan dalam pengambilan keputusan, tetapi nyatanya hampir semua keputusan musyawarah secara agama banyak melibatkan nafsu.



Keterlibatan nafsu dalam diri manusia membuktikan bahwa akal bukanlah satunya2nya fasilitas dalam memahami dan mencapai tujuan hidup didunia.

Akal lebih sekedar alat yg digunakan dalam pencapaian tujuan tiap-tiap manusia.



Banyak teori-teori dikemukakan mengenai Ketuhanan, dengan dasar akal sebagai barometer. Sangatlah berlebihan dan merupakan pembodohan atas pemahaman ketuhanan secara filosofis bila hal terbut terjadi, sayangnya hal itu yang sekarang terjadi dan merupakan maksimal yang dapat dihadirkan, karena “keterbatasan” dalam banyak dimensi yang mampu diraih seseorang.



Bagaimana mungkin dapat memahami sesuatu yang hukum dan ketentuannya berbeda. Hal ini dapat diibaratkan manusia yang mencoba mempelajari laut sementara mereka hidup dalam daratan. Ilmu yang mereka peroleh sangat sedikit dan tidak akan pernah selesai karena banyaknya keterbatasan semisal tehnologi, dana, volume dan pengetahuan semisal kandungan laut itu sendiri maupun hal lainnya, serta keterbatasan usia manusia yang melakukan riset tersebut.

Kalaupun terjadi kesimpulan maupun pendefinisian, pemahamannya akan sangat terbatas pada mereka yang mengkhususkan diri dalam bidang tersebut.



Akal menjadi alat/ fasilitas dalam memhami ketuhanan ditahap awal, dimana dalam tahapan berikutnya akan menjadi pembatas.

Kemajuan tehnologi yang digaungkan oleh kaum logis (mereka yang menomorsatukan logika diatas segalanya) diikuti oleh percepatan pemahaman atas spiritual, dimana pada kenyataannya terjadi shortcut dalam pencapaian derajat seseorang dalam konteks terpilih.



KONSEP LOGIKA AKAL & SPIRITUAL

Spiritualist yang terberkati mereka yang mempunyai kemampuan lintas agama, dimana mereka berfikir tanpa dibatasi oleh dimensi maupun ketentuan yang terbatas, melainkan sejalan dengan hakiki kitab suci yang dapat ditemukan dalam filosofi keagamaan.



Pemahaman agama tanpa berfikir jauh, akan mudah berubah dalam perjalanannya ataupun akan berakhir dalam fanatisme berlebihan yang sudah pasti keluar dari filosofi agama itu sendiri. Contoh yang nyata, para pelaku teroris yang mengatasnamakan agama-agama banyak kita temukan.



DIFERENSIASI



Tuhan memberikan legitimasinya kepada siapa saja yang dikehendakiNya tanpa melihat dari asal-usul dan ketetapan itu hanya berlaku antara individu dengan Dia, sang legitimator sesuai dengan “tugas” yang diemban dimana dalam perjalanan sang individu juga mengalami godaan yang kapasitasnya berbeda sebagai akibat pengetahuan yang mereka miliki melebihi dari awam.



Mereka yang mempunyai kemampuan menganalisa dan memperoleh pemahaman dalam mengartikan filosofi dalam agama serta ketentuan / aplikasi dunia secara detil, pada masyarakat akan dikategorikan sebagai spiritualist sesuai dengan gelar yang diberikan tiap2 agama. Hanya saja, kerap terjadi pengetahuan yang dimiliki secara ‘eksis’ belum mencukupi sehingga tidak dapat menjembatani secara ‘mendekati kebenaran’ mengenai siapa Tuhan sang “Penguasa atas penguasa”.



Sebaliknya, kaum atheis tidak akan mampu mencapai serta mempercayai konsep ketuhanan, karena mereka tidak pernah memelihara tanaman yang tumbuh dalam hidup mereka yang dibutuhkan sebagai sarana mutlak yang harus dimiliki praktisi dalam perjalanan ke Tuhan. Belum lagi mengenai legitimasi terpilih yang merupakan prerogatif Tuhan, berupa pembukaan atas hati untuk berjalan dalam garis hati.



Secara anatomi tubuhpun terdapat perbedaan antara duniawi dan spiritual, dimana untuk duniawi merupakan akal sebagai sarana, sementara spiritual menggunakan sarana hati, sebelum akhirnya diolah pula oleh akal setelah ‘terintervensi’.



Sehingga dalam realitanya terdapat sedikit dari mereka yng memiliki kemampuan memproses akal dan hati dalam menyerap ilmu hakikat ketuhanan. Mereka orang yang terpilih dengan tugas masing2 dan diantara mereka suatu saat akan saling mengenal dalam keilmuanNya, walaupun dalam agama dan keyakinan yang berbeda.



HAKIKAT DASAR



Dogma dalam masyarakat yang sangat tidak mendasar, erat kaitannya dengan cerita turun temurun yang dipercaya sebagian orang sebagai sesuatu yang nyata, ditambah lagi pengkultusan individu sebagai seseorang dengan memiliki kemampuan tidak umum, menimbulkan penambahan-penambahan yang semakin menjauhkan dari esensi agama dalam misinya. Kerap kali dalam perdebatan terjadi adu argumentasi berdasarkan emosional dan pemahaman yang sempit atas agama, sehingga agama tersebut menjadi rancu dalam hubungannya dengan pengetahuan.

Kondisi tersebut dialami oleh semua agama dalam perjalanannya, hanya saja ada yang tetap bisa bertahan dengan kembali ke aturan dasar (Kitab Suci), ada yang mengalami revisi, maupun pergeseran dalam aplikasinya.



Immanuel Kant dengan teori Pnoumena (realitas jasmani) dan Noumena (realitas rohani, dengan kategori talenta), cukup mendekati terhadap realitas atas 2 sisi kehidupan yang berbeda tersebut. Hanya saja Kant sebagai pengamat, bukan pelaku yang memiliki Noumena cukup untuk menjembatani 2 hal yang berbeda tersebut.



Bagaiman mungkin pencapaian kesimpulan spiritual dengan hukum dan standart sendiri, dapat dinilai oleh logika yang memiliki hukum dan standart berbeda !? Hal ini muncul sebagai reaksi kedangkalan logika manusia dalam pemahaman berhenti dalam satu titik dan mencari celah-celah yang meraba dan tidak jelas, sementara akhirnya kemampuan menganalisa telah jauh melenceng dari realita spiritual.



Akal sebagai organ untuk hukum realitas duniawi, dimana dalam perumusan penggolongan terhadap sesuatu yang nyata dan dapat diterima masyarakat secara mayoritas. Hal ini dikategorikan sebagai logika akal, dengan perangkat bantunya berupa panca indra.

Hati sebagai organ untuk hukum spiritual, dengan standard yang berbeda dalam kerjanya dan cenderung subyektif. Pada tahapan tertentu, bagi mereka yang mampu mengendalikan ‘ego’, secara otomatis akan memiliki sensor penghubung dengan logika akal, sehingga pengalaman supranatural dapat dijelaskan secara logika (untuk dirinya sebeluh dishare dengan orang lain). Hanya saja kemampuan tersebut agak jarang dimiliki manusia karena keterbatasan dalam banyak hal.

Contoh perbedaan mendasar atas 2 logika tersebut dapat dilihan pada seseorang yang dalam hidupnya miskin harta, maka dalam konsep keadilan Tuhan akan ada pemikiran:

1. Logika Akal akan melihat sebagai bentuk ketidak adilan.
2. Logika Spiritual akan melihat sebagai hal yang menguntungkan, karena kondisi tersebut lebih memudahkan orang untuk melakukan pendekatan kepada Tuhan (bila dia mengambil kesempatan itu).



Sigmun Freud (1856-1939) yang menyimpulkan bahwa agama adalah satu respon manusia terhadap ketidak berdayaan mereka untuk mengontrol dunia, merupakan kesimpulan yang mengandung kebenaran (sebagian besar manusia melakukan hal ini). Hanya saja tolok ukur dari sudut pandang logika akal, padahal wilayah ini menjadi bagian dari logika spiritual.

Kamis, 10 Maret 2011

ARTI FILSAFAT

Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa